Open Journal Systems

THE IMPLEMENTATION OF THE AL-JAM’U METHOD ON MUKHTALIF AL-HADITS AND ITS LEGAL ISTIDLAL: Hadith Study on the Limits of Male Awrah

Ahmad Saerozi, Muhammad Saiful Mujab, Abdullah Hanafi

Abstract

Scholars offer three methods to resolve the mukhtalif al-hadits: al-jam’u (reconciliation), al-naskh (abolishing the ruling of the hadith that first appears), and al-tarjih (favoring one of the traditions). Among the examples of traditions that fall under the category of mukhtalif are the traditions about the limits of the awrah of men. The researcher in this article will discuss the implementation of the al-jam’u method on the hadith about the limits of male genitalia. This research is a type of qualitative research with a library research model through a philosophical approach, and data processing techniques using descriptive-analytical methods and then analyzed using content analysis techniques.  The results of this study are that there are two hadiths about the limits of male awrah that are outwardly contradictory. The first hadith comes from Jarhad who says that the male thigh is awrah. While the second tradition which comes from Anas bin Malik says that the Prophet’s thigh is not awrah. The implementation of the al-jam’u (reconciliation) method related to this issue is that although in terms of sanad quality the first tradition is stronger which says, the madzahib arba’ah agree that the thigh is a male awrah which should not be shown to others. Only Dawud Zhahiri and Ustukhri say that the thigh is not awrah. The madzahib arba’ah’s interpretation of the hadith about the opening of the Prophet’s thighs explains his inadvertence because his clothes were uncovered and in a critical situation. In addition, after his thighs were exposed, he immediately covered them.

[Untuk menyelesaikan mukhtalif al-hadis, para ulama menawarkan tiga metode, yaitu: al-jam’ (rekonsiliasi), al-naskh (menghapus hukum hadis yang pertama kali muncul), dan al-tarjih (mengunggulkan salah satu hadis). Di antara contoh hadis yang termasuk kategori mukhtalif adalah hadis seputar batasan aurat laki-laki. Artikel ini akan mengulas seputar implementasi metode al-jam’u terhadap hadis seputar batasan aurat laki-laki dan istidlal hukumnya. Penelitian ini merupakan jenis penelitian kualitatif dengan model kepustakaan (library research) melalui pendekatan filosofis, serta teknik pengolahan data menggunakan metode deskriptif-analitik kemudian dianalisis menggunakan teknik analisis isi (content analysis).  Hasil dari penelitian ini yaitu terdapat dua hadis tentang batasan aurat laki-laki yang secara lahiriahnya bertentangan. Hadis pertama bersumber dari Jarhad yang mengatakan paha laki-laki adalah aurat. Hal ini dibuktikan dengan perintah Nabi kepada Jarhad untuk menutup pahanya. Sementara hadis kedua yang bersumber dari Anas bin Malik mengatakan paha Nabi bukanlah aurat. Hal ini berdasarkan pada hadis yang menjelaskan bahwa paha nabi terlihat saat menuju ke perang Khaibar. Implementasi dari metode al-jam’u (rekonsiliasi) terkait masalah ini yaitu meskipun dari segi kualitas sanad lebih kuat hadis pertama, tapi madzahib arba’ah sepakat mengatakan paha merupakan aurat laki-laki yang tidak boleh diperlihatkan kepada orang lain. Hanya Dawud Zhahiri dan Ustukhri yang mengatakan paha bukan aurat. Keduanya mengatakan aurat laki-laki hanya kemaluan depan dan belakang.  Istidlal madzahib arba’ah dari hadis tentang terbukanya paha Nabi menjelaskan ketidaksengajaan beliau karena pakaiannya tersingkap dan dalam keadaan genting (perjalanan perang Khaibar). Di samping itu setelah pahanya terlihat, beliau langsung menutupnya.]

Keywords


Al-Jam’u, Mukhtalif Hadith, Male Awrah

References


Aliyah, S. (2014). Teori Pemahaman Ilmu Mukhtalif Hadits. Jurnal Ilmu Agama: Mengkaji Doktrin, Pemikiran, Dan Fenomena Agama, 15 (1), 1–12.

Asqalani, I. H. al-. (2014). Fath al-Bari. Dar al-Fikr.

Azmi, F. (2023). Paha sebagai Aurat dala Tinjauan Hadits (Studi Komparatif Antara Imam Al-Saukani dengan Syaikh Al- ‘ Utsaimin). UIN Sultan Syarif Kasim.

Bukhari, M. bin I. al-. (2009). Shahih Bukhari. Dar al-Fikr.

Bullah, H. (2022). Metode Pemahaman Hadis (Analisis Mukhtalif al-Hadis). Tahdis: Jurnal Kajian Ilmu Al-Hadis, 13(1), 18–36. doi: 10.24252/tahdis.v13i1.22950

Haitami, I. H. al-. (2010). Al-Fatawa al-Haditsiyah. Dar al-Fikr.

Hibban, I. (2011). Shahih Ibnu Hibban. Dar al-Fikr.

Ibnu Hajjaj, M. (2000). Shahih Muslim. Dar al-Fikr.

Ibnu Hambal, A. (2009). Musnad Ahmad bin Hanbal. Dar al-Fikr.

Jaziri, A. al-. (2010). al-Fiqh ala al-Madzahib al-Arba’ah. Dar al-Fikr.

Misbah, M. (2018). Hadits Mukhtalif dan Pengaruhnya terhadap Hukum Fikih: Studi Kasus Haid dalam Kitab Bidãyatul Mujtahid. Riwayah : Jurnal Studi Hadis, 3(1), 23. doi: 10.21043/riwayah.v3i1.3435

Munawir, W. (1997). Kamus al-Munawir (14th ed.). Pustaka Progresif.

Muslim, I. H. (2000). Syarah Nawawi ala Muslim. Dar al-Fikr.

Nata, A. (2008). Metodologi Studi Islam. Raja Grafindo Persada.

Nawawi, M. al-. (2000). al-Majmu’ Syarh Muhadzdzab. Dar al-Fikr.

Noorhidayati, S. (2016). Ilmu Mukhtalif al-Hadis. Lentera Kreasindo.

Qaradhawi, Y. (2009). Kaifa Nata’amalu Ma’a Sunnah Nabawiyah. Dar al-Thauq.

Qutaibah, I. (2010). Takwil Mukhtalif al-Hadis. Dar al-Fikr.

Safri, E. (1999). Imam Syafi’i: Metode Penyelesaian Hadis-Hadis Mukhtalif. IAIN Padang Press.

Sari, M., & Asmendri, A. (2020). Penelitian Kepustakaan (Library Research) dalam Penelitian Pendidikan IPA. Natural Science, 6(1), 41–53. doi: 10.15548/nsc.v6i1.1555

Suyuthi, J. al-. (1990). al-Asybah wa al-Nazhair. Dar al-Kutub al-Ilmiyah.

Syafi’i, M. bin I. al-. (2008). Ikhtilaf al-Hadits. Dar al-Fikr.

Thahhan, M. (2011). Taisir Musthalah Hadis. Dar al-Fikr.

Tirmidzi, A. I. al-. (2000). Sunan al-Tirmidzi. Dar al-Fikr.

Wil, T. A., Al, M., & Garwan, M. S. (2020). Telaah Hermeneutika dalam Kitab. Hermeneutika, 19(2), 23-38.


Full Text: PDF

DOI: 10.21043/riwayah.v10i1.25657

How To Cite This :

Refbacks

  • There are currently no refbacks.